Mengenal Syaikh Abdurrahman Siddik, Tokoh Dibalik Penyebaran Islam di Bangka

Oleh : Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, ECH.

Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 

PENYEBARAN dan perkembangan Islam di Pulau Bangka dalam catatan sejarah dilakukan melalui beberapa jalur atau cara, yaitu melalui jalur perdagangan, ketika Islam dibawa dan diperkenalkan oleh saudagar saudagar muslim yang melakukan perdagangan di bandar dan pelabuhan di pulau Bangka. Diperkirakan di awal masa Sriwijaya abad 7 Masehi, masa Majapahit, Demak, atau abad 13-15 Masehi. 

Kemudian Islam masuk dan berkembang di Pulau Bangka melalui jalur politik kekuasaan kerajaan – kerajaan tradisional yang berkuasa di Nusantara sekitar abad 16-18 Masehi, khususnya ketika Pulau Bangka berada di bawah pengaruh Johor dan Minangkabau yang berpusat di Kotawaringin dan Bangkakota.

Selanjutnya masa kesultanan Banten yang berpusat di Bangkakota dan masa kekuasaan kesultanan Palembang Darussalam yang berpusat di Kota Mentok. Sebagai wilayah Sindang yang berstatus Mardika atau bebas, Sultan Palembang mengangkat Rangga dan Tumenggung di Bangka sebagai wakil sultan yang mengatur pemerintahan dan kemasyarakatan termasuk mengembangkan syiar keislaman dan penerapan hukum pemerintahan Islam dan hukum adat. 

Sultan kesultanan Palembang Darussalam juga mengangkat jabatan Penghulu, Khatib dan Modin sebagai pejabat yang mengatur dan menata keislaman di Pulau Bangka. Agama Islam di Pulau Bangka selanjutnya berkembang melalui jalur dakwah, misalnya oleh Haji Abubakar dari Batusangkar sekitar Tahun 1848, Gusti Kacil sampai Tahun 1906, dan salah satu ulama yang cukup berperan besar dalam perkembangan Islam di Pulau Bangka adalah Syaikh Abdurrahman Siddik.

Syaikh Abdurrahman Siddik (Tahun 1857–1939) adalah salah satu ulama di Indonesia, yang telah berdakwah di tengah-tengah masyarakat Pulau Bangka. Namanya adalah Abdurrahman bin Haji Muhammad Afif bin Haji Anang Mahmud bin Haji Jamaluddin bin Kyai Dipa Sinta Ahmad bin Fardi bin Jamaluddin bin Ahmad Al-Banjari. Sedangkan Shiddiq (Siddik) adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh gurunya Sayyid Bakri Syatha, seorang ulama dan salah seorang gurunya di Mekah pada Tahun 1889.

Syaikh Abdurrahman Siddik lahir di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan, Tahun 1284 H/1857 M. Selesai melaksanakan mukim dan belajar Islam di Mekah, Syaikh Abdurrahman Siddik mulai berdakwah sebagai ulama menyampaikan dan menyebarkan Islam dengan berbagai cara dan pendekatan yang baik kepada masyarakat di Pulau Bangka bahkan melalui karya-karya tulisannya di bidang keislaman. 

Setelah selesai mukim dan belajar di Mekah, Ia kembali ke kampung halamannya, di Martapura Kalimantan Selatan. Selama Delapan bulan di Kalimantan Selatan, Syaikh Abdurrahman Siddik pergi dan menetap untuk berdakwah di pulau Bangka. Dalam catatan sejarah diketahui bahwa Islam berkembang di Pulau Bangka, salah satunya melalui kegiatan dakwah yang dilakukan oleh ulama ulama dari Banjar Kalimantan Selatan.

Misalnya dakwah Islam yang dilakukan oleh Gusti Mas Muda bergelar Gusti Kacil (Tahun 1825-1906), seorang Pejabat utama dari Kesultanan Banjar Kalimantan Selatan yang makamnya terletak di Kotawaringin. 

Syaikh Abdurrahman Siddik berdakwah di Pulau Bangka melanjutkan pendahulunya dari Banjar, selama sekitar 12 Tahun. Kegiatan dakwahnya dilakukan di tengah masyarakat kampung di pelosok pulau Bangka yang pengetahuan agamanya masih kurang. Pengetahuan keislaman penduduk di Pulau Bangka masih sangat kurang pada awal dan sampai pertengahan abad 19 dapat dipelajari dari data Tahun 1817 Masehi dan data Tahun 1848 Masehi. 

Berdasarkan data dari residen Inggris di Bangka M.H. Court, dijelaskan bahwa, jumlah penduduk Pulau Bangka sebesar 13.413 jiwa, terdiri dari Bankanesen (pribumi Bangka) sebesar 5.751 jiwa, Melajen (Melayu) sebesar 3.011 jiwa dan Chinesen (China) sebesar 4.651 jiwa. 

Setelah itu, 31 tahun kemudian, Franz Epp, dalam bukunya Schilderungen aus Ostindiens Archipel, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1841 dan Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1852 halaman 209, dalam data dari tabel statistik (statistische verhaltnisse) didiskripsikan, bahwa pada Tahun 1848 Masehi penduduk pulau Bangka berjumlah sekitar 41.246 jiwa yang tersebar di Sembilan distrik yaitu Muntok, Jebus, Belinyu, Sungailiat, Merawang, Pangkalpinang, Toboali, Koba, dan Sungaiselan. 

Penduduk Pulau Bangka tersebut mendiami 482 kampung. Dari jumlah tersebut terdapat sekitar 10.052 orang Cina, 4.903 orang Melayu dan sebanyak 26.291 orang pribumi Bangka asli yaitu orang Darat dan Orang Laut. Dalam kesimpulannya beberapa peneliti Eropa tersebut menyatakan, bahwa Orang Darat dan Orang Laut Bankanesen (pribumi Bangka) tidak dikelompokkan ke dalam Orang Melayu karena belum beragama Islam

Dakwah Syaikh Abdurrahman Siddik di samping disampaikan secara langsung kepada masyarakat dan yang utama dilakukan di langgar, surau dan masjid di Pulau Bangka yang cukup banyak tersedia di kampung-kampung dan di 10 ibu kota distrik di keresidenan Bangka (posisi lokasi masjid/mesigit dapat dipelajari di dalam Peta Belanda Res. Bangka en Onderh. Opgenomen door den Topografischen dienst in 1928-1929). 

Awalnya Syaikh Abdurrahman Siddik bermukim dan berdakwah di Kota Mentok sebagai ibukota Keresidenan Bangka (sampai 3 September 1913, ibukota dipindahkan ke Kota Pangkalpinang). Selanjutnya Syaikh Abdurrahman Siddik tinggal di beberapa kota dan kampung di pulau Bangka, yaitu di distrik Belinyu selama Dua tahun. 

Dari distrik Belinyu kemudian Ia melanjutkan dakwah Islam di Distrik Sungaiselan, setelah itu dilanjutkan dakwah Islam ke Kota Pangkalpinang, kemudian Syaikh Abdurrahman Siddik menetap di kampung Petaling selama sekitar Tiga tahun. Selanjutnya Syaikh Abdurrahman Siddik berdakwah di kampung Payakbenue dan Menduk. 

Aktifitas dakwah Syaikh Abdurrahman Siddik kemudian dilakukan di kampung Kemuje sekitar tiga tahun, diteruskan ke kampung Puding Besar selama sekitar setahun dan termasuk dakwah yang dilakukannya di Kotawaringin sekitar Tahun 1910. 

Ada catatan sejarah pada saat Syaikh Abdurrahman Siddik di Kotawaringin (Tahun 1910) melakukan musyawarah dengan tokoh masyarakat setempat untuk mengangkat lunas kapal Panglima Syarah yang tenggelam di Berok muka sungai Kotawaringin (sekitar Tahun 1641/1642 Masehi) yang mengganggu aktifitas masyarakat Kotawaringin saat mencuci, mandi dan menjalankan perahu. 

Hasil musyawarah mufakat masyarakat sepakat untuk mengangkat lunas tersebut ke daratan, akan tetapi setelah diangkat ternyata buaya-buaya di sungai Kotawaringin mengamuk dan menggangu aktifitas masyarakat sehingga disepakati untuk menenggelamkan kembali sisa lunas kapal Panglima Syarah tersebut ke sungai. Akan tetapi posisinya agak digeser agar tidak mengganggu aktifitas masyarakat di sungai Kotawaringin. 

Dakwah terakhir Syaikh Abdurrahman Siddik di pulau Bangka adalah di kampung Kundi. Syaikh Abdurrahman Siddik kemudian melanjutkan dakwah Islamnya ke wilayah Sapat, Indragiri Riau. Syaikh Abdurrahman Siddik berdakwah di Sapat, Indragiri Riau selama sekitar 27 Tahun dan sampai beliau wafat, tanggal 10 Maret 1939 dalam usia 82 Tahun dan dimakamkan di kampung Sapat Dalam Parit Hidayat, Indragiri Riau. 

Beberapa buku karya Syaikh Abdurrahman Siddik yang ditulis di Pulau Bangka di samping banyak buku karya lainnya lainnya adalah; Fath al-‘Alim fi Tartib al-Ta’lim dan kitab Tazkiratun li Nafsi wa li Amtsali (Peringatan bagi diriku dan bagi saudara-saudara seagama). 

Disclamer: Tulisan ini sudah dimuat di BangkaPos.com edisi 14 Maret 2024 dengan judul yang sama.



Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.