KETIKA GUNUNG MARAS BERSISIR (Ekspedisi Teluk Kelabat – Sungai Perimping)
Dulu, orang yang memasuki Pulau Bangka dari arah utara, akan menjadikan Gunung Maras sebagai patokan.
Gunung yang menghadap Teluk Kelabat, berdiri gagah seolah tumpuan dan harapan bagi kapal yang melewati Selat Malaka menuju Batavia. Teluk Kelabat yang terletak diantara “tanduk” Pulau Bangka, akan melindungi mereka dari terjangan Angin Timur dan Barat, terlebih angin dari arah Selatan. Disini mereka bisa mengisi perbekalan air tawar, berlindung dari ancaman badai, sekaligus memperbaiki perahu dari kerusakan.
*Tim Jelajah Bangka kali ini akan mencoba memasuki Teluk Kelabat dari arah Sungai Bunting di Belinyu.
≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅≅
Mesin dinyalakan, perahu bergerak menyusuri sungai dengan perlahan.
Seperti umumnya sungai di Bangka, dikanan kiri sungai Bunting terlihat bakau beserta tanaman mangrove lainnya. Bakau adalah tempat favorite bagi udang galah untuk bertelur.
Kelokan sungai yang indah, ditambah merdu nya nyanyian alam membuat jiwa serasa melayang.
Tak lama, Teluk Kelabat sudah menyambut kami.
Kalau tadinya Sungai Bunting hanya selebar 4-6 meter, kini Teluk Kelabat membentang hampir sejauh mata memandang. Berdiri diatas perahu ditengah Teluk Kelabat, sambil melihat Gunung Maras yang menjulang tinggi, rasanya memiliki sensasi tersendiri. WOW!
Perahu terus bergerak, dengan tujuan awal Dusun Bukit Tulang.
Ku amati alam sekitar sambil mencari posisi matahari. Ku bayangkan arah mata angin, dari situ dapat ku pastikan haluan perahu mengarah ke Tenggara.
Dengan mesin bertenaga 50 PK – 3 Silinder, tak susah bagi Mang Kapten untuk membawa kami ke dermaga Bukit Tulang. View utama dari Bukit Tulang adalah Pulau Dante (Danto dalam logat Belinyu). Pulau ini unik karena dilihat dari atas, bentuknya seperti telapak kaki.
*Tujuan utama Jelajah Bangka kali ini adalah untuk memastikan bahwa Dermaga Bukit Tulang bisa digunakan untuk memberangkatkan rombongan Komunitas PEKA dari Dusun Bukit Tulang-Teluk Kelabat- hingga Jembatan Sungai Perimping.
Setelah memastikan dermaga ini bisa digunakan untuk memberangkatkan sekitar 100 orang, berikut mengetahui jadwal pasang surut air laut, perjalanan pun dilanjutkan.
Ada beberapa pulau yang berada dikawasan Teluk Kelabat, sebut saja Mengkubung, Pulau Nanas, Mentigi, Pulau Kayu dan lainnya, termasuk Pulau Putri yang terkenal itu.
Sayangnya pulau-pulau yang indah dan Teluk Kelabat yang mempesona ini harus dirusak oleh segelintir orang yang marak melakukan penambangan secara inkonvensional.
Bakau banyak yang rusak, tertutup lumpur bekas galian timah didasar sungai.
Ikan dan udang yang menjadi tangkapan utama nelayan, semakin susah didapatkan.
Beberapa nelayan yang kami temui, semuanya mengeluh akan aktivitas penambangan ini.
Dengan tatapan nanar, berkali-kali mereka menggulung jaring kosong yang sudah ditebar sedari pagi.
Satu hal yang sering ku dengar, bahwa Sungai Perimping banyak dihuni oleh buaya.
Dan tak tanggung-tanggung, diantara mereka besarnya ada yang melebihi perahu kita.
Agak merinding sebenarnya, tapi karena hanya cerita, jadinya… yah antara percaya dengan percaya dikit saja 😀
DAN… HARI INI, KAMI KETEMU MEREKA !
Gemetar kaki ku. Tak cuma kaki, rupanya tanganku pun ikut bergetar.
Bayangkan! Berada diatas perahu kecil, ditengah sungai dan luasnya Teluk Kelabat.
Disenggol sedikit saja perahu kami bisa oleng!
Dag Dig Dug…
Ku tolehkan kepala kearah Mang Kapten. Senyum seringai yang ku dapat.
Bukannya tancap gas untuk kabur, Mang Kapten malah mengitari Sang Buaya. Aneh!
Namun dari senyum dan gesture tubuhnya yang santai, membuat ku sedikit merasa tenang.
Bergegas ku ambil kamera. Masih agak gemetar kali ini sambil menahan kencing, ku paksakan mengabadikan momen spesial ini.
Sejujurnya, ada riang dalam hati karena bisa bertemu dan melihat langsung Sang Penguasa Sungai Perimping-Teluk Kelabat. Selama ini hanya sebatas mendengar, bahwa buaya muara Sungai Perimping adalah Raja dari segala buaya yang ada di Pulau Bangka, dan Sungai Perimping adalah pusat kerajaannya!.
Bersitatap dengan matanya, jantungku semakin dag dig dug ser. Kubuat bibirku seolah tersenyum ramah. Dalam hati, kusapa mereka. Berharap mereka menerima sinyal pertemanan yang aku kirim dari hati.
Sementara lututku masih gemetar dan rasa ingin kencing semakin menjadi-jadi.
Dengan tenang, Sang Penguasa sungai melaju pelan.
Tak terlihat manuver apapun, tak ada gerakan sedikitpun.
Seolah mereka hanyut dibawa arus.
Pelan namun pasti. Gagah, dengan raut muka yang dingin.
Nampaknya Mang Kapten cukup bersahabat dengan mereka.
Setelah berhasil mengitari Sang Buaya, perlahan ekornya mulai bergerak. Lentur laksana lambaian, seolah mengatakan selamat tinggal pada kami.
“Terimakasih”. Kembali kuucapkan pada mereka, dalam hati.
Perlahan Sang Penguasa menghilang, menyelam kedalam Sungai Perimping-Teluk Kelabat yang berair payau.
Perjalanan dilanjutkan.
Didepan, jembatan Perimping mulai terlihat membentang.
Meski samar tertutup kabut, namun aura masa lalunya tetap gahar menggetarkan.
Konon, Jembatan Perimping sudah dibangun Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1929.
Membentang diatas sungai Perimping sepanjang lebih dari 200 meter. Menghubungkan antara Kampung Gedong, desa Lumut di Sebelah Belinyu dengan dusun Bernai, Buhir dan Rambang terus ke Pangkal Niur, Maras Senang hingga ke Bangka Barat (Kelapa, Jebus, sampai Muntok).
Terusan Teluk Kelabat rupanya tak hanya sampai disini.
Dari Sungai Perimping dengan cabang-cabangnya yang lain, alirannya masuk ke Sungai Layang. Setelah Sungai Layang, masih terus lagi ke Sungai-Sungai lainnya hingga semakin jauh memasuki jantung Pulau Bangka.
Ketika Jembatan Perimping bersanding dengan Gunung Maras, maka kita akan mendapatkan sebuah panorama yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Semacam aura ganjil, namun membuat betah menatapnya berlama-lama.
Kita seolah tersedot oleh kekuatan magis yang membuat lupa ruang dan waktu dimana kita berada.
Hal ini seperti legenda Buluh Perindu yang memang hidup di Gunung Maras sana.
Rintik hujan yang sedari pagi menyirami bumi, kini mulai berhenti.
Kabut tipis yang menyelimuti, perlahan menyingkir pergi.
Sedikit demi sedikit, Maras mulai menampakkan diri.
Seperti Putri habis mandi, kecantikannya tak tertandingi.
“Gunung Maras Sudah Bersisir”, begitu kata masyarakat disini.
Maknanya, Alam kembali bersahabat dan aman untuk beraktivitas lagi.
Menyaksikan semua ini, riangnya bukan kepalang.
Letih yang dirasa, seketika langsung hilang.
Penuh rasa syukur, yang susah untuk dibilang.
“Maras lah besisir, Yo kite pulang!”
– – – – – – – – – – – – – – – – –
catatan:
*Berdasarkan Perda Kab.Bangka tentang RTRW No.1 Tahun 2013, Gunung Maras memiliki ketinggian 706 mdpl. Meski ketinggiannya tidak seperti Gunung pada umumnya, namun sejak dahulu daratan tertinggi di Pulau Bangka ini sudah kadung disebut Gunung.
**Sebutan Primping, diambil dari nama Arsitek Belanda perancang awal Jembatan tersebut.
Kini Jembatan baru sudah dibuat sepanjang 258,60 meter dengan nama asli Jembatan Air Layang dan diresmikan oleh Presiden SBY pada 28 Juni 2006
***Ekspedisi ini difasilitasi penuh oleh Pak Herman Ch (anggota DPRD Bangka, dapil Belinyu) yang diikuti oleh Ali Usman & Alvin Azra dengan “nakhoda” Mang Kapten.
Mantap… Jadi tau lebih banyak tentang bangka, walaupun saya orang bangka asli,tapi belum paham betul ttg sisi lain pulau bangka,