Manjang Merah dan Lubang Batu, Air Terjun Desa Berbura, Primadona di Pulau Bangka.
BERBURA.
Bagi sebagian orang, mungkin masih asing mendengar nama Desa ini.
Berada di bawah kaki Gunung Maras, BERBURA terdiri dari 3 dusun: Bernai-Buhir dan Rambang.
Secara adminstratif, Berbura masuk wilayah Kecamatan Riau Silip di utara Pulau Bangka.
Umumnya, penduduk desa Berbura bekerja sebagai penyadap pohon karet.
Namun sebagian kecil ada juga yang berkebun lada.
Pariwisata adalah sektor lain yang sebenarnya sangat memungkinkan untuk dikembangkan di Desa ini.
Selain memiliki Gunung Maras sebagai puncak tertinggi di Pulau Bangka, Berbura juga memiliki beberapa keindahan alam nan cantik yang tidak dimiliki daerah lain.
Sebut saja Air Terjun Manjang Merah yang airnya terlihat me-merah,
dan Air Terjun Lubang Batu yang unik persis depan lubang yang menyerupai Goa.
Edisi kali ini, kesanalah tim Jelajah Bangka menuju!
Satu setengah jam kurang lebih waktu tempuh dari Pangkalpinang, Ibukota Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dengan akses jalan beraspal yang sangat mulus, menjadikan perjalanan ke Desa Berbura tidaklah susah.
Sesampai di Berbura, langkah pertama kami adalah menuju kantor Kepala Desa.
Rintik hujan makin rapat menyirami bumi, seolah menyambut kedatangan kami disini.
Alhamdulillah, kami diterima dalam suasana sederhana yang bersahabat.
Selanjutnya bersama Kepala Desa dan staf, kami berbincang mengenai potensi wisata yang ada di Desa Berbura.
Gayung pun bersambut, Ibu Assumiati sang Kepala Desa setuju dan senang sekali mendengar bahwa kami hadir untuk mengangkat dan akan mempublikasikan keindahan Air Terjun Manjang Merah dan Air Terjun Lubang Batu yang ada di desa ini.
»»»»»»»
Setelah ngobrol sana sini, niatnya ingin segera ke lokasi,
Namun hujan yang turun sedari pagi, membuat kami harus sabar menanti,
Apa boleh buat, sepertinya masih harus tertahan disini,
Karena hujan nampaknya betah sekali mengguyuri bumi.
Medan yang terjal dengan jalan yang licin pasti sudah menanti,
Namun keadaan sudah kadung, karena kami sudah disini.
Balik kanan atau meneruskan perjalanan, harus segera disepakati,
Dengan mengucap Bismillahi kami mantapkan tekad di hati.
Kepada Ibu Kades, kami mohon restu.
Keluar dari kantor desa, langkahpun terayun satu persatu.
Menikmati jalan setapak yang becek dihiasi genangan air bercampur batu.
Dibawah guyuran gerimis membuat semangat makin menggebu.
»»»»»»»
Sekian jauh kaki melangkah, kini kami memasuki perkebunan warga,
Melihat kekanan kiri, nampak berbaris rapi pepohon lada.
Anehnya tak seorangpun pekerja yang terlihat disana.
Mungkin sedang beristirahat dipondok bersama keluarga tercinta.
“WUUU…..”,
KAGET! Karena tiba-tiba Pemandu kami mengeluarkan suara keras.
Belum hilang rasa kaget tadi, tiba-tiba terdengar suara “Wuuuu…” yang lainnya.
Rupanya itu adalah isyarat,
Semacam komunikasi bahwa ada yang melintas sekaligus izin memasuki wilayah kebun tersebut.
Kami terus melangkah, bersama gerimis yang masih setia menemani.
Pemandangan selanjutnya hanya ada hutan dan hutan.
Bau alam mulai menyeruak.
Pohon yang basah mengeluarkan aroma khas yang selalu menyenangkan.
Sisa-sisa air diujung daun, berkilau tersorot sinar mentari yang berhasil menembus celah-celah awan mendung dan pepohonan.
Suara krik..kriik..kriiik… dan bunyi-bunyian binatang hutan lainnya seolah berlomba diperdengarkan untuk menyambut kami.
Senang sekali rasanya, aku merasa disapa oleh mereka.
Sejenak, ku hentikan langkah.
Kupandangi sekeliling dengan senyum merekah.
“Terimakasih kawan” ucapku dalam hati.
“Kami datang dengan damai sebagai teman, bukan sebagai musuh yang akan mengganggu kalian”.
Satu detik berikutnya, suasana hening.
Koor dari binatang hutan seolah kompak berhenti.
Merinding bulu kudukku, namun secara halus dapat kurasa, mereka menerima kedatangan kami.
Perjalanan dilanjutkan.
Track berikutnya adalah tanpa jalan, Setapak pun tidak.
Hal ini karena jalan menuju Air terjun ini memang belum dirintis.
Jadi, langkah kami murni mengandalkan naluri dan pengalaman dari sang Pemandu.
Mendapati batu terjal, batu terjal itu kami daki.
Mendapati tebing curam, tebing curam itu kami turuni.
Beberapa kali terlihat ada keraguan dan sedikit salah jalan.
Untungnya belum jauh, hanya beberapa meter saja.
Kepada Bang Azwar pemandu kami, sempat ku tanyakan tentang keyakinannya akan jalan ini.
Jawabnya:
“Kalau di kota, bolehlah saya tersesat. Namun kalau dihutan ini, percayakan pada ahlinya!”.
Heheee…. tersenyum kami dibuatnya 😀
Semakin jauh kaki melangkah, nafas semakin ngos-ngosan.
Muka pun sudah dipastikan memerah bercampur keringat dan uap air sisa-sisa gerimis tadi.
Ku lirik jam yang melingkari tangan kananku. Satu jam sudah dan belum terlihat tanda-tanda akan adanya air terjun yang kami tuju.
Mendapati air yang mengalir, kami istirahat sejenak.
Sambil merendamkan kaki, ku basuh muka.
Jeessss, sejuk sekali rasanya.
Berkali-kali ku usapkan air ke mukaku, untuk mengurangi keringat dan kotoran yang menempel.
Sekaligus sebagai charge agar tubuh fresh kembali.
Terduduk diatas kayu, kupandangi aliran air ini.
Bersih, jernih, tak satupun sampah yang ada.
Pasir dasarnya terlihat jelas, dengan beberapa ikan yang berenang melawan arus.
Ada yang menarik disini, ku perhatikan sedari tadi ikan-ikan ini terus berenang dengan mengibaskan ekornya. Namun kelihatannya mereka tidak pernah maju barang 1 centi pun.
Ku perhatikan lagi lebih seksama dengan memakai sebatang rumput sebagai penanda.
Dan ternyata benar, mereka terus berenang dengan selalu mengibaskan ekornya, namun tak pernah maju barang 1 centi pun!.
Entah apa yang mereka lakukan, namun satu hal yang aku tarik sebagai pelajaran.
Bahwa, melangkahlah !
Teruslah melangkah walaupun rasanya seperti jalan ditempat.
Dalam keadaan lelah, aku merasa dimotivasi.
Kepada ikan aku membatin,
“Baiklah teman, akan ku turuti nasehatmu. Terimakasih sudah memotivasi dan mengajari ku” 😉
»»»»»»»
Selanjutnya…
Hutan semakin lebat, tanjakan semakin tinggi, cadas semakin besar, dan jurang semakin mendalam.
Diketinggian ± 200mdpl, kabut dari puncak Gunung Maras mulai turun.
Gemuruh suara air makin jelas tedengar, berbanding lurus dengan medan yang semakin terjal.
Kewaspadaan dan kehati-hatian makin ditingkatkan.
Sedikit kesalahan, akan berakibat terpeleset dengan nyawa sebagai taruhan.
»»»»»»»
Man Jadda Wa Jada.
Siapa menanam, dia menuai.
Siapa bersungguh, dia berhasil.
Buah dari tekad dan perjuangan kami.
Berjalan dibawah guyuran hujan, menapaki jalan hutan yang belum dirintis.
Mendaki cadas, menuruni lembah.
Bersimbah peluh, bermandi keringat.
Kini…
Dihadapan kami . . .
==============
*Manjang Merah.
Dari tutur lisan warga setempat, kata Manjang berasal dari kata Menjangan atau Kijang yang oleh lidah lokal disebut Manjang.
Secara kasat mata, kita dapat melihat air yang Memanjang dan berwarna Merah.
Istilah inipun disepakati, bisa dianggap menjadi cikal bakal penyebutan Aliran Air dan Air Terjun Manjang Merah.
Airnya jernih dengan bebatuan berwarna merah disepanjang aliran air.
Ditambah banyak terlihat pohon Pelawan yang tumbuh didaerah sini.
——————————————————————————-
Jelajah Bangka di Desa Berbura, Sabtu 17 Desember 2016.
(Alvin Azra, Ali Usman, Adi Gusman, Dwi Herdiansyah, Ardi)
Assalamu’alaikum Bang, di pal 3, air belo, muntok tuh ade yang name e bukit kukus.. sekarang ade rencana dari pemerintah sane nek diancurin batu batu gunung yang disane dan denger denger care ngancurin e pake bom.. sayang bang kalo diancurin padahal bukit tuh bagus, alangkah baik e dijadiin tempat wisata.. masyarakat pal 3 sekarang agik berusaha untuk ngebatalin rencana penghancuran tu, masege selain sayang kek alam juga bakalan berdampak buruk bagi penduduk sekitar sane dan menurut prediksi ku jalan raya disane dak bakalan selamat karena pas hujan lebat beberapa waktu lalu jak setengah jalan e ambruk.. kalau abang punye waktu tolong lah bang tempet tu di explore.. untuk save pulau kite.. sikok saran agik bang 😀 TI apung yang dilaot tu makin rame jak bang alangkah bagus e juga kalo di publish negatif dari TI apung itu sendiri, di belo laut lagi bermasalah sama TI apung.. sayang sama ekosistem laut kita yang sebenarnya sangat kaya.. makasih bang lah nak nyimak, maaf ok ku malah ngoceh cemni di blog abang.. makasih juga bang buat blog e, sangat menginspirasi dan menambah pengetahuan..
Kate dosen kami, kalo kite baik kek alam dengan tanda petik menjaganya maka alam juga bakalan baik sama kite, tapi kalau kita jahat alias ngancurin alam maka alam juga akan menunjukkan karma dari perbuatan kita.. wassalamu’alaikum
Wa’alaikumussalam.
Makasih Yuliza atas perhatiannya terhadap Alam & Lingkungan.
Utk Bukit Kukus, kmarin kawan2 dari Walhi, Alobi, Komped, Kopassas dll sudah melalukan ekspedisi ke Bukit Kukus, sebagai reaksi dan ‘perlawanan’ awal.
Ide Yuliza Bukit Kukus dijadikan sebagai tempat wisata, baiknya dimulai dari masyarakat setempat, kemudian kerjasamakan dg Komunitas Pecinta alam. Selanjutnya hal kecil ini akan menjadi bola salju.
Terkait perkataan Dosen Yuliza, itu benar sekali. Bukankah salah 1 tugas kita adalah sebagai Khalifah fil’ardh ?
Mengelola alam tidak harus dg cara merusaknya. Ketika alam rusak, saat itu keberkahan dicabut.