PEKAJANG, Desa Syahdu Dari Gugusan Pulau 7
(Tarik nafas dalam-dalam, keluarkan sekaligus. Hmmmmp… phuffftttt)
Alhamdulillah, adalah kata pertama yang keluar dari mulut kami.
Plong, hilang sudah sesak yang sedari tadi menghimpit didada.
Haru sekaligus lega, begitu yang dirasakan ketika untuk pertama kalinya kaki ini menginjak daratan. Setelah 5 jam mengarungi lautan lepas, menjelang zuhur perahu yang kami sewa merapat didermaga Cibia.
Matahari tepat diatas kepala, dikala musim kemarau masih betah berlama-lama.
Keringat bercucuran, bercampur uap air laut yang lengket dibadan.
Meski terpanggang dibawah mentari, dipulau kecil ditengah lautan seperti ini, tak sedikitpun surut semangat kawan-kawan yang ikut dalam “ekspedisi’ ini.
Sigap dan ceria, bahu-membahu mereka membongkar barang-barang dari palka untuk selanjutnya dibawa menuju desa yang berjarak ±1Km dari dermaga.
Desa yang teramat syahdu dengan penduduk yang sangat ramah, Pekajang.
Sebelum memasuki gerbang desa, sepanjang perjalanan kita akan disambut oleh pemandangan yang unik.
Dikiri jalan, akan kita jumpai sisa-sisa bangunan yang sudah ditinggalkan.
Dari konstruksi yang terlihat kokoh dan megah, nampaknya ini bukan sembarang bangunan.
Berdasar tutur masyarakat setempat, ternyata bangunan itu adalah sisa-sisa kejayaan perusahaan penambangan timah yang sempat beroperasi dilepas pantai Cibia.
Maju sedikit, dikanan jalan kita akan menjumpai hamparan padang rumput yang hijau.
Dikuasai beberapa ekor sapi ditemani burung-burung sejenis bangau.
Mendengar decak kagum teman-teman, beberapa burung langsung mengepakkan sayapnya, kabur.
Sementara sapi ada yang tertegun menatap kami, mereka berhenti mengunyah seperti kehilangan selera makan. Mungkin kami adalah makhluk yang aneh bagi mereka.
Sungguh menjadi pemandangan yang indah semacam sambutan bagi kami yang baru tiba.
Sebagai pendatang yang baru masuk daerah orang, maka langkah pertama yang kami lakukan adalah melapor kepada sang penggawa desa, sekaligus menerangkan tujuan kami ke desa ini.
Dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda, bersama pemuda dari Karang Taruna Desa Dalil, kami berniat silaturahmi dengan pemuda dari Karang Taruna Desa Pekajang yang sebelumnya telah kami surati, resmi.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa momentum Sumpah Pemuda terjadi karena kesadaran tingkat tinggi dari pemuda tempo dulu yang tidak ingin terpecah, tidak mau diadu domba meski berasal dari daerah dan suku yang berbeda.
“Meneladani Semangat Sumpah Pemuda, Kita Perkokoh Rasa Persaudaraan & Kebersamaan Dalam Bingkai NKRI”, begitu tema yang kami angkat.
Tak bertepuk sebelah tangan, kedatangan kami diterima dengan baik oleh Kades berikut masyarakat Pekajang.
Desa Pekajang berpenduduk ±137 KK yang diisi hampir 500 jiwa.
Terdiri dari dua dusun yang mereka sebut sebagai dusun atas dan dusun bawah.
Begitu informasi yang disampaikan oleh Ibu Agustina selaku Kepala Urusan Kesejahteraan Desa Pekajang ketika mendampingi kami beramah tamah dengan warga pada malam harinya.
Bersama Pak Simon, Kadus Dusun Atas, Bu Agustina terlibat aktif mendampingi kami selama tiga hari di Desa Pekajang, Pulau Cibia.
Terdapat bangunan SD, SMP, Pustu dan tempat layanan lainnya yang dibangun oleh Pemerintahan Lingga.
Pekajang dimasukkan ke Kabupaten Lingga berdasarkan UU No.31 Tahun 2003.
Dulunya pernah terjadi ketegangan antara Pemprop Kepri dengan Pemprop Babel terkait status Pekajang dan 7 Gugus Pulau yang oleh sebagian orang disebut dengan Pulau 7.
Hal ini dikarenakan pada UU No.27 Tahun 2000 tentang pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung, Pasal 5 Ayat 1 hurup (a) dikatakan Propinsi Bangka-Belitung memiliki batas wilayah sebelah utara dengan laut Natuna, yang berarti meliputi Pulau 7 dan sekitarnya, dan ditegaskan kembali pada ayat selanjutnya, 2 dan 3.
Konon, status ini masih belum selesai ditingkat MK.
Saat ini, roda pemerintahan masih terus berjalan.
Urusan administrasi, Desa Pekajang menginduk ke Kecamatan Lingga yang berjarak kurang lebih 9 jam perjalanan dengan menggunakan pompong, kapal nelayan yang sekaligus dipakai sebagai alat angkut transportasi warga.
Meski menginduk ke Lingga, nelayan dan warga Pekajang justru lebih sering datang ke Bangka, dikarenakan jarak tempuh yang lebih dekat.
Hanya ±3 jam, mereka sudah sampai di Pala, Teluk Limau atau Penganak Kecamatan Parit 3 atau paling lama 5 jam bisa tiba di Belinyu, kota kecamatan di Bangka Utara.
Mayoritas masyarakat Pekajang hidup dari hasil laut.
Untuk menjual ikan, membeli es balok (sebagai media pengawet ikan), membeli keperluan sembako dan untuk berobat, umumnya masyarakat Pekajang lebih sering ke Belinyu.
Desa Pekajang adalah satu-satunya desa yang ada di Pulau 7.
Meski namanya Desa Pekajang, bukan berarti mereka berada di Pulau Pekajang.
Pekajang secara pulau, adalah Pulau terbesar diantara 7 gugus Pulau tersebut.
Namun pulau ini secara administrasi tidak berpenghuni.
Pekajang secara desa justru berdiam diri di pulau Cibia atau Cebia berdasar logat masyarakat setempat.
Dari kedua hal tersebut, maka ada istilah yang menyebutkan kalau Pulau Pekajang adalah Pekajang Besar sedangkan Pulau Cibia adalah Pekajang Kecil.
Pulau-pulau lainnya diseputaran Pulau 7 adalah: Tukong Yu, Pasir Keliling, Penyaman, Lalang, Kembung dan Jambat.
Dibawah kepemimpinan Kepala Desa terdahulu yang sekarang dilanjutkan oleh (Pjs) Pak Siman, pembangunan di Desa Pekajang cukup memadai.
Sayangnya, untuk listrik dan sinyal sebagai sarana komunikasi belumlah hadir di Desa ini.
Transportasi reguler dari dan ke Pekajang pun menjadi hal yang tak kalah penting, sebagai sarana aktualisasi dan mobilisasi masyarakat Pekajang ke dunia luar.
Kedepan, kita berharap Pekajang dan Pulau 7 pada umumnya bisa lebih diperhatikan.
Dibawah siapapun mereka, kemanapun mereka, semoga lebih Sejahtera.
———————
*update berita:
Per hari Rabu, 27 Februari 2019 sinyal Telkomsel mulai hadir disini.