
Pembukaan acara adat Titang Tue dan Saji Buk Idang oleh Kepala Desa Bintet
Oleh: Alvin Azra Lee.
.
Drrrtttt…. drrttttt…..
Drrtttt….. drrrrtttttt….
HP dimeja bergetar, ketika mataku masih melekat pada buku Harmoni Di Sungaiselan, buku yang telah ku baca berulang kali. Sekilas, ku alihkan pandangan ke HP, tampil nama Dato’ Akhmad Elvian FJK*.
klik, ku buka pesan WA tersebut, “Datuk, hari minggu ini kemana?”
Belum sempat dijawab, ku lihat Pak Elvian masih “typing…” ku tunggu kelanjutannya.
“Saya diundang dan diminta beri sambutan acara Titang Tue dan Saji Buk Idang di Kampong Bintet, Belinyu”
Ku jawab pesan pertama beliau, bahwa hari minggu ini, Kak Meilanto yang juga Pak Elvian kenal, mengajak menemui seseoraang untuk persiapan acara bedah buku Harmoni yang ku baca tadi. Dan Meilanto adalah penulis buku tersebut.
Pak Elvian kemudian menerangkan bahwa acara Titang Tue dan Saji Buk Idang tidak bisa ditunda dan hanya setahun sekali dilaksanakan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat, “Datuk, Ingat pesan Depati Amir: Membujur Lalu, Melintang Patah. Printa Jang Tak Bole Dibantah!”. Membaca pesan tersebut, deras ku jawab, ”SIYYAAAAAPPP”.
Pak Akhmad Elvian adalah pembina kami di Yayasan Jelajah Bangka INDONESIA, yang concern dibidang Kajian Sejarah dan Pelestarian Nilai Budaya.
Untuk Kak Mei, tentu kita kabarkan bahwa pertemuannya akan dijadwal ulang.
Jam 05.30, Ahad 16 Februari 2025.
Selepas mandi dan sholat subuh kami bergerak menuju Bintet, ujung utara Pulau Bangka.
2 jam, 20 menit waktu ditempuh.
10 menit jelang pukul 8 pagi, mobil memasuki lapangan bola kampong Bintet, tempat acara adat Titang Tue dan Saji Buk Idang akan digelar.
Turun dari mobil, ramah panitia menyambut kami dan mempersilahkan masuk melalui jalur yang sudah dikondisikan dengan sangat baik. Pagar besi dihias indah, ”pagar betis” berjejer dikiri-kanan, senyum bujang dayang penyambut tamu tak henti disunggiingkan, ornamen-ornamen penghias ditata dengan kesan meriah, meriah seperti pesta perkawinan.
Sebelum menuju ke kursi tamu, kami menyempatkan melihat sajian Buk Idang yang ada dimeja panitia. Saya tahu itu Buk Idang karena dimeja ada tulisannya.
Buk idang disini terdiri dari nasi ketan, yang dalam bahasa Bangka disebut Bu’ Pulot. Berwarna kuning, dilengkapi dengan ayam, telur dan taburan garam.
Disebelahnya berdiri dengan anggun, Sripuan. Saya sebut anggun karena namanya seperti perempuan. Dan istilah Sripuan pun baru saya ketahui dari Dato’ Akhmad Elvian yang menjelaskannya disamping saya.
Sripuan adalah hiasan pohon pisang muda yang ditegakkan, dibungkus kertas berwarna kemudian ditancapkan buah-buahan hasil bumi yang dipercantik dengan janur yang dilipat gulung, menjadikan karya seni yang sangat indah. Sripuan kemudian ditempatkan pada pahar, sejenis dulang yang berkaki. Dan sebutan pahar pun baru kali ini saya ketahui.
Acara dimulai, sambutan Pak Kades Benny Kim menjelaskan bahwa desa Bintet terdiri dari lima dusun: Pesaren Pantai, Bukit Beting, Dusun Bintet, Lepang dan Sungai Pasir. Kelima dusun ini bermukim dengan damai orang Melayu Islam, Melayu Mapur dan Urang Cin, sebutan akrab untuk saudara kita keturunan Tionghoa.
Titang Tue do’a sekampung dimaksudkan do’a bersama yang meliputi kelima dusun /kampong ini dan semua warga yang bermukim didalamnya. Jelas terlihat kerukunan diantara mereka dengan cara bekerja sama, bahu membahu, melibatkan diri untuk menyukseskan acara ini.
Hiburan yang ditampilkan juga sepertinya sudah dipilih dengan cermat.
Pantun, dambus, tarian adat seperti tari kedidi, dan pencak silat silih berganti menghibur undangan. Sanggar budaya “Cinta Kasih Dayung Serumpun” asuhan Abdul Haq alias Bang Jahok yang sekaligus ketua panitia acara ini tampil sangat memukau. Tidak harus dengan orgen tunggal apalagi dentuman band yang menggelegar.
Dari upacara adat yang terlihat sederhana ini, ada banyak hal yang saya pelajari dan nikmati. Terutama istilah “Titang Tue” yang merupakan kata baru dalam kamus perbendaharaan kosakata saya.
Titang secara harfiah adalah Bahasa, dan Tue memang Tua.
Titang Tue adalah ucapan arif bijaksana, petatah petitih yang ditutur, ajar dan tular, dibungkus dalam serangkaian do’a sebagai ucap syukur apa yang telah diterima kepada yang Maha Kuasa. Berikut harap kebaikan untuk kedepan.
Setidaknya, ada beberapa aspek kehidupan yang bisa kita pelajari dari upacara adat seperti Titang Tue dan Saji Buk Idang ini.
Pertama, Aspek Ekologi.
Hal ini mengajarkan kepada kita bagaimana cara berinteraksi dengan alam.
Alam yang telah memberikan kita penghidupan, sudah selayaknya kita berterimakasih dengan cara merawat, bukan merusak.
Alam bagus, penghidupan baik.
Alam rusak, penghidupan hancur.
Kedua, Aspek Sosial.
Mengajarkan bagaimana kita berhubungan dengan makhluk hidup, utamanya sesama manusia. Bolehlah kita pakai istilah ‘hablum minannas” termasuk upaya gotong royong yang telah dipertontonklan oleh warga desa Bintet dalam acara Titang Tue dan Saji Buk Idang ini.
Bahwasanya kekuatan kita terbatas, untuk urusan tertentu akan lebih mudah dikerjakan bersama-sama. Dalam adat Bangka ada istilah “besaoh”, yaitu bekerja tolong menolong secara bergantian. Hari ini kita bantu fulan, besok fulan yang bantu kita.
Kemudian manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa berdiri sendiri. Lahir, hidup hingga meninggal sesungguhnya kita tidak bisa mengurus sendiri.
Ketiga, Aspek Spiritual.
Sadar bahwa kemampuan manusia sangat terbatas, sekaligus menyadari bahwa ada kekuatan besar diluar kita yang memutar bumi, menggerakkan angin, menurunkan hujan. Ada banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan. Untuk itu kita tunduk dan berharap pada Tuhan agar diberikan perlindungan dan kemudahan dalam kehidupan.
Dalam hal Saji Buk Idang, ketiga aspek ini di simbolkan dengan daun pisang sebagai alas Buk Idang (Nasi yang akan di hidangkan)
Daun pisang ini dibentuk dengan pola segi 7, 8 atau 9.
Segi tujuh melambangkan “bini”, dan segi sembilan melambangkan “laki”. Semua berpasang-pasangan saling melengkapi.
Sementara segi delapan melambangkan alam semesta yg terdiri atas 8 penjuru arah mata angin. Daun pisang sendiri bagian dari alam.
Pesan moral yang ingin disampaikan dari Sajian Buk Idang adalah keseimbangan alam dan kehidupan (ekologi), yang disajikan kepada sanak saudara sebagai rasa saling berbagi (sosial), dilandasi rasa syukur sekaligus pengharapan kepada Tuhan agar kedepan rejeki akan lebih berllimpah dan berkah (spiritual).
Titang Tue dan Buk Idang sungguh luar biasa.
Upaya menjaga budaya agar tak sirna.
Wujud syukur pada semesta
Sekaligus memohon keberkahan pada Yang Kuasa.
O iya, ada satu lagi kosakata baru yang saya dapatkan dari sini, yakni jawak-jawak. Ini adalah semacam”pecalang” kalau di Bali, atau “polisi adat” yang bertugas menjaga keamanan agar upacara adat dapat berlangsung sebagaimana mestinya.

.
Salam Budaya!
==================
Next Event: Bedah Buku Harmoni Di Sungaiselan, karya Meilanto.
Note*
FJK adalah Foxtrot Juliet Kilo, suffix dari callsign resmi Dato’ Akhmad Elvian dari pemerintah (SDPPI)
I believe this website contains some real fantastic info for everyone. “I prefer the wicked rather than the foolish. The wicked sometimes rest.” by Alexandre Dumas.