
MAP Island Of Banka, Horsfield.
Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP., ECH.
Sejarawan, Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia.
AHLI epigrafi Louis Charles Damais (1995:85), mengatakan: sumber-sumber kesusasteraan dari luar negeri khususnya India yang menyebut tentang Sumatera, antara lain dari Kitab Milindapanca yang ditulis sekitar abad I Sebelum Masehi, dan Kitab Mahaniddesa yang ditulis sekitar abad III Masehi menyebut nama-nama pulau, seperti Jawadwipa (Pulau Jawa), Swarnabhumi (Pulau Sumatera), dan Vangkadwipa atau Wangkadwipa.
—————–
DALAM Bahasa Sanksekerta, Dwipa berarti Pulau dan Vangka atau Wangka berarti Timah, berarti “Pulau penghasil Timah”. Toponimi (sejarah asal usul penamaan wilayah geografis) Wangkadwipa berasal dari kata generik dwipa yang berarti Pulau dan nama diri atau nama spesifik vangka atau wangka yang berarti Timah. Penamaan Bangka berasal dari kata wangka sangat beralasan mengingat pulau ini kemudian merupakan salah satu penghasil bijih Timah terbesar di dunia dan pada dasarnya sejarah Pulau Bangka umumnya berisi tentang penguasaan atau eksploitasi terhadap bijih Timah oleh berbagai bangsa. Perubahan konsonan V dan W pada kata vangka/wangka menjadi B dalam pengucapan masyarakat merupakan sesuatu yang biasa terjadi misalnya pada kata Sanksekerta wicara menjadi bicara, wulan menjadi bulan.
Menurut salah seorang pelaut bernama Jans Huyghens van Linschoteen dalam bukunya Reys Geschrift Van de Navegtion Portugaleyysers in Orienten yang artinya perjalanan navigasi orang Portugis di dunia Timur, bahwa pada Tahun 1595 telah beredar secara meluas di Amsterdam bahwa ada sebuah pulau bernama “Banca”. Seorang ahli pertambangan bernama Cornelis de Groot mengusulkan agar penulisan pulau itu dengan ejaan “Bangka”. Kemudian ejaan tersebut berlaku sampai sekarang, walaupun dalam tulisan balok Timah tetap menggunakan ejaan Banka. Cornelis de Groot menyatakan, bahwa nama Bangka untuk penamaan Pulau sesuai dengan bahasa tulis dan ucapan penduduk setempat (Zondervan, J.H,1895:8). Maksudnya Cornelis de Groot sesuai dengan bahasa tutur dan tulisan dari Orang Bangka.
Sesuai dengan toponimi pulaunya dari kata Bahasa Sanksekerta “Vangka atau Wangka” yang berarti Timah, dapat disimpulkan, bahwa pada abad abad akhir sebelum Masehi atau awal masehi, Timah sudah ditemukan di Pulau Bangka. Seiring dengan penamaan dan penemuan Timah di Pulau Bangka, penggunaan potongan Timah tertua dalam catatan arkeologi ditemukan pada makam di Mesir kuno sekitar Tahun 1450 Sebelum Masehi. Logam Timah mulai digunakan dalam bentuk industri, pertama kali digunakan di Nusantara pada zaman Perunggu (Perunggu adalah campuran dari Tembaga dan Timah). Peralatan dari Perunggu umumnya dibuat dengan menggunakan teknik setangkup (bivalve) dan teknik cetakan lilin (à cire perdue).
Eksplorasi terhadap logam Timah di Pulau Bangka, awalnya dilakukan dalam jumlah terbatas telah berlangsung lama, diperkirakan pada abad V Masehi, hingga kemudian Timah dieksplorasi dan dieksploitasi secara besar besaran pada abad XVII hingga sekarang (Abad XXI). Eksplorasi dan eksploitasi yang berlangsung berabad-abad lamanya, menyebabkan kebudayaan dan peradaban masyarakat yang mendiami Pulau Bangka sangat dipengaruhi oleh pertimahan. Di samping menghasilkan Timah, sebenarnya Pulau Bangka juga menghasilkan Emas dan Besi Berani serta hasil hasil lainnya yaitu Lada, Rotan, Damar, Madu, dan Tikar Kajang (tikar yang dianyam dari daun Nipah atau daun Rumbia) serta kayu wangi dari Species Gonstylus Bankanus yang laku dengan harga mahal di Persia bahkan lebih mahal dari Gaharu (Aqualiria).
Penggunaan Timah di Pulau Bangka dapat diketahui pada sekitar Abad 5 Masehi atau 2 Abad sebelum kejayaan Kedatuan Sriwijaya, berdasarkan temuan arkeologis di Situs Kotakapur Bangka, wilayah pesisir Barat Pulau Bangka dengan ditemukan sisa-sisa Terak bekas pembakaran Timah. Temuan Terak dan sisa pembakaran logam Timah di situs Kotakapur berdasarkan uji karbon menunjukkan, bahwa biji Timah telah ditemukan dan dieksplorasi di Pulau Bangka dalam jumlah yang terbatas untuk bahan pembuatan peralatan rumah tangga dan perlengkapan upacara yang dikenal dengan Kebudayaan Perunggu. Kebudayaan Perunggu atau Zaman Perunggu, merupakan kebudayaan yang masyarakatnya menggunakan peralatan kehidupan terbuat dari Perunggu. Kebudayaan perunggu atau zaman perunggu bukan merupakan budaya asli bangsa Indonesia. Zaman perunggu dikenal bangsa Indonesia dari masuknya pengaruh kebudayaan Dongson dari daerah Tonkin Cina. Masuknya kebudayaan Dongson dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia, menunjukkan dengan jelas, bahwa telah terjadi hubungan yang erat antara Pulau Bangka dengan daratan Asia.
Menurut Prof. Soekmono dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Indonesia, pembawa kebudayaan Dongson adalah sebangsa dengan pembawa kebudayaan Kapak Persegi pada masa neolithikum (zaman batu muda) yaitu bangsa Austronesia, mereka merupakan nenek moyang bangsa Indonesia yang datang pada gelombang kedua sekitar Tahun 500 Sebelum Masehi. Bangsa Austronesia yang menyebar ke Nusantara juga mewariskan Bahasa Austronesia yang salah satu rumpunnya atau cabang besarnya adalah bahasa Melayu Kuno, sebagaimana bahasa yang digunakan pada Prasasti Kotakapur di Pulau Bangka abad ke 7 Masehi (menggunakan ortografi Pallawa-Melayu Kuno). Selanjutnya Bangsa Austronesia mewariskan peradaban yang sudah maju sebagai masyarakat food producing seperti bercocok tanam, perternakan, perundagian (salahsatunya keahlian melebur logam), astronomi dan pelayaran. Keahlian-keahlian di atas sama seperti halnya keahlian yang dimiliki oleh pribumi Bangka (Bankanese) Orang Darat/Orang Gunung (hill people) dan Orang Laut yang dalam literatur Eropa sering disebut Orang Sekak sebagai pengembara laut (sea dweller).
Pada abad 7 Masehi, Kotakapur di Pulau Bangka yang berada di pesisir Barat Pulau Bangka dan berhadapan langsung dengan Sriwijaya di Pulau Sumatera, menjadi salah satu Mandala (kota dagang) dari Kedatuan Sriwijaya. Seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor dari Sriwijaya, yakni Kayu Gaharu, Kapur Barus, Cendana, Gading, Timah, Ebony (kayu hitam), Kayu Sapan, rempah-rempah, dan Kemenyan, sementara itu menurut berita Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Sriwijaya pada masa itu adalah Cengkeh, Pala, Kapulaga, Pinang, Kayu Gaharu, Kayu Sapan, rempah-rempah, Penyu, Emas, Perak, dan Lada. Komoditas seperti Penyu, Kayu Gaharu, Kemenyan, Rempah-rempah, Lada, Pinang dan Timah merupakan komoditas yang relatif banyak dihasilkan di Pulau Bangka.
Pada masa Pulau Bangka dikuasai oleh Kesultanan Banten dan ketika Palembang mulai berbentuk kesultanan dengan sultan pertama Kiai Mas Hindi Pangeran Kesumo Abdurrohim bergelar Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam (memerintah Tahun 1659-1706 Masehi), Timah di Pulau Bangka mulai dieksplorasi secara besar-besaran untuk kebutuhan industri, dapat diketahui dari catatan sekitar Tahun 1667 ketika Timah dijadikan sebagai industri di Eropa termasuk industri Pewter. Diperkirakan Timah dari Bangka untuk pertama kalinya masuk pasaran Amsterdam (Sujitno, 1996:42) (Batavia, Tanggal 25 Januari 1667, Yang Mulia…, Tahun lalu, dst…., Sebagai balast kapal yang kembali pulang ke Negeri Belanda oleh mualim dipakai Timah Malaxse seberat 100.000 pon. Berkat penjelasan dari Utusan Kamar Dagang Amsterdam yang juga ahli mineral karena pernah membuat karya tulis tentang Timah Inggris, kami yakin bahwa Timah itu sangat berharga…dst). Catatan Andaya menyatakan keberadaan Timah di Pulau Bangka telah dikenal setidaknya sejak akhir abad ke Tujuhbelas, dan meskipun tidak pernah diekspor dalam jumlah besar, itu tampaknya telah digunakan dalam pembuatan picis, perhiasan serta amunisi. Timah sudah dihargai sebagai pemberat di kapal menuju Eropa dan memiliki pasar yang bagus di India. Sebelum VOC belajar tentang deposito Timah Bangka, kapal-kapal Cina sudah berlayar membeli Timah. Kapal Palembang menuju Jawa juga memuat Timah seolah-olah sebagai pemberat, tetapi sebenarnya untuk penjualan di Batavia (Andaya, 1993:185).
*Bersambung kebagian dua.
Catt. Tulisan ini sudah dimuat di Babel Pos dengan judul: “awal timah ditemukan di pulau bangka bagian satu“